Mentari menatap nanar ke jendela kamar
dihadapannya. Hidupnya tinggal 30 hari lagi. Mentari divonis terkena penyakit
radang selaput otak oleh dokter seminggu yang lalu. Saat itu ia sedang belajar
di kelasnya dan tiba-tiba ia tidak sadarkan diri, ia dibawa ke rumah sakit
dekat sekolahnya, dokter mengatakan bahwa Mentari terkena penyakit radang
selaput otak dan hidupnya tersisa selama 30 hari.
Mentari saat ini duduk di bangku kelas
10 di sebuah SMA negeri. Mentari hidup bersama ayah dan adiknya, sedangkan ibu
Mentari telah bersama Sang Pemilik Kuasa alam, karena kecelakaan saat ia ingin
menjemput adik Mentari sepulang sekolah.
Setelah Mentari tahu bahwa hidupnya
hanya tersisa selama 30 hari, Mentari semakin semangat untuk menebar
kebaikan-kebaikan di sisa umurnya. Sesaat Mentari tak kuasa menahan air
matanya. Dia menangis, menyesal mengapa selama ini hidupnya tidak dipenuhi
dengan kebaikan dan baru menyadari hal tersebut saat dia tau ajal akan
menjemputnya. Dia terlena akan nikmatnya kehidupan duniawi, hingga melupakan
bahwa sebenarnya ada kehidupan abadi, yang kekal, yang sungguh-sungguh bahagia,
jika ia mau berusaha mempersiapkan segalanya serta tidak menyia-nyiakan sisa
usianya selama di dunia.
Kehangatan senja datang menemani Mentari
yang sedang membaca buku pelajaran di meja belajar kesayangannya. Meja itu
berwarna hijau kebiruan, di atasnya terdapat beberapa buku pelajaran, buku
umum, novel, dan sebuah komputer. Meja belajarnya menghadap ke dua buah jendela
berukuran sedang yang pada pagi harinya akan tampak matahari berwarna kuning
keemasan, berusaha meraih puncak, dan melewati lembutnya gumpalan-gumpalan awan
putih. Dan di malam hari akan terlihat sebuah bulan serta gugusan bintang yang
menerangi kegelapan langit, di setiap malam.
Dua bulan telah berlalu...
Mentari masih diberi kehidupan oleh
Allah. Mentari sadar yang menentukan hidup dan matinya adalah Allah, sehingga
ia tetap berusaha sekuat tenaga untuk memperbaiki diri, tetapi kali ini tujuan
ia memperbaiki diri bukan karena ajalnya yang telah mendekat, tetapi hanya
karena Penciptanya, karena Allah.
Perubahan sikap Mentari ini ternyata
tidak disukai oleh beberapa teman kelasnya, seperti Melodi. Melodi selalu
menganggap Mentari dengan sudut pandang atau prasangka negatif. Pagi ini,
Mentari terlihat sedang mengajarkan pelajaran kepada salah satu teman kelas
mereka. Kemudian Melodi datang menghampiri Mentari dan berkata hal-hal yang
membuat Mentari sakit hati. Mentari tetap sabar menghadapi cacian Melodi.
Mentari yakin bahwa dia tidak seperti apa yang Melodi katakan.
Perlahan Mentari mencoba menjauhi
teman-temannya. Jika ada temannya yang mendekati Mentari, dia langsung menjauh,
menjadi dingin ataupun sinis kepada teman-temannya. Bahkan saat berada pada
pelajaran yang mengharuskan dirinya untuk berkelompok, Mentari berusaha untuk
tidak dekat dengan teman-temannya. Mentari menjauhi mereka, dan memilih untuk
tidak bersosialisasi dengan siapapun. Tetapi, teman-teman Mentari semakin mendekati
Mentari. Mereka tidak mengetahui tentang penyakit Mentari.
Suatu hari, Melodi tidak sengaja menabrak
tubuh Mentari hingga Mentari jatuh terjerembab, Mentari tak sadarkan diri.
Melodi panik dan segera membawa Mentari ke rumah sakit seraya menghubungi ayah
Mentari. Sudah dua minggu Mentari berada di rumah sakit. Saat itu, Bulan, adik
Mentari kembali datang menjenguk, membawa seikat mawar putih dan meletakannya
di vas dekat tempat tidur Mentari. Melodi juga berada di ruangan itu. Melodi
memberanikan diri, bertanya kepada Bulan mengapa Mentari tidak sadarkan diri
hingga saat ini. Bulan mengatakan bahwa Mentari terkena penyakit radang selaput
otak, Melodi tidak percaya, Melodi menangis seraya memeluk Mentari. Melodi
menyesal telah berbuat jahat kepada Mentari, kepada Mentari yang selalu ceria,
Mentari yang selalu sabar, Mentari yang selalu rela berbaik hati kepada
teman-temannya, Mentari yang ikhlas memberikan kehangatan bagi orang-orang yang
dicintainya. Melodi berjanji kepada dirinya sendiri bahwa dia akan menjaga
Mentari saat ia bangun dari tidurnya.
Tak lama kemudian, Mentari pun sadarkan
diri, dia melihat Melodi yang matanya telah sembab memegangi tangannya seraya
meneteskan air mata. Melodi memaksa Mentari bercerita tentang penyakit Mentari
dan perubahan-perubahan sikap Mentari selama ini. Mentari mengaku bahwa dia
menjauh dari teman-temannya karena Mentari takut membuat mereka sedih jika Mentari
telah tiada. Mentari tidak ingin terlalu menyayangi teman-temannya, karena akan
sakit hati jika mengetahui bahwa orang yang dia sayangi dan juga menyayangi
dia, pada akhirnya akan berada sangat-sangat jauh dari Mentari.
Mentari berpesan kepada ayahnya, Bulan,
Melodi, dan teman-teman Mentari agar tidak menangisi kepergian Mentari melalui
sebuah surat. Mentari bertanya-tanya di dalam hatinya, mengapa harus bersedih
saat orang yang kita sayangi pergi? Mengapa tidak berdoa saja, minta kepada
Allah untuk dipertemukan kembali di akhirat, tentu di surga-Nya. Tidak perlu berlarut-larut
dengan kesedihan. Toh yang sudah terjadi akan menjadi masa lalu dan tidak dapat
kembali lagi. Yang seharusnya dilakukan adalah memperbaiki diri, mempersiapkan
diri untuk hari-hari berikutnya. Dan juga telah menjadi takdir-Nya bahwa semua
umat manusia akan mengalami kematian, meninggal dunia. Apa yang telah Allah
ciptakan, apa yang Allah berikan akan kembali kepada Allah, pasti.
Sehari setelah selesai menulis surat
itu, Mentari kembali berada dalam keadaan kritis. Dan sudah takdirnya bahwa dia
akan menghembuskan nafas terakhirnya di rumah sakit itu pada sore hari disaat
matahari berwarna kuning kemerahan dan tersembunyi dibalik gumpalan awan tebal
kelabu yang serasa ikut berduka akan kepergiannya. Tetapi kehangatan mentari
akan tetap terasa melalui alunan melodi dan cahaya bulan di hari-hari
berikutnya.
Lumayan bagus nao ceritanya :D
BalasHapusbagus naoo (y)
BalasHapusbahasanya bagus :)
BalasHapusbiasa ajah haha
BalasHapus